Sabtu, 19 Januari 2008

GENDER MENURUT ISLAM

Pendahuluan
Perbedaan pendapat tentang "Gender" selalu hangat untuk diberdebatkan, oleh kalangan agamawan, akademisi, politisi bahkan ibu rumah tangga. Umumnya pedebatan yang terjadi terkait masalah batasan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Hak dan kewajiban dalam setiap aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selanjutnya, penafsiran ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan perempuan dipertanyakan dan ditafsir ulang karena terkesan budaya patriarki menguasai cara penafsiran yang ada.

Sebab Perbedaan Pendapat
Demikian, perdebatan yang muncul tidak akan lepas dari pola pikir dan metodologi yang mereka bangun, Barbara Freyer Stowasser dalam karyanya "Women in the Qur'an, Traditions, and interpretations", membagi para pemikir yang terlibat dalam perdebatan tersebut dalam beberapa kelompok, Pertama, kaum Modernis yang menggunakan ijtihad, Interpretasi individual atas kitab suci-sebagai dasar metodologinya. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho merupakan wakil dari pemikiran ini, karya-karya mereka mengungkapkan persamaan hak-hak perempuan Islam dalam bidang sosio-politik dengan laki-laki dalam terma-terma yang lebih inklusif dan absolut. Kedua, kaum Konservatif atau Tradisionalis memandang Islam sebagai suatu sistem keimanan yang diwariskan dan interpretasinya hasil dari Ijma', dari komunitas ulama yang terpercaya. Mereka tidak memberikan persamaan hokum terhadap laki-laki dan perempuan sebagaimana diabadikan dalam hukum Islam klasik, kaum perempuan dianggap lemah secara fisik dan mental, namun pada tahun 1960an, mereka menyamakan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang spiritual dan cultural, mereka juga meminggirkan peran perempuan di kancah politik. Ketiga, kaum Fumdamentalis, Barbara menyebut mereka sebagai aktivis skripturalis yang memandang diri mereka sendiri sebagai lambang kesadaran dalam jalan kehidupan Islami. Disebutkan bahwa kaum fundamentalis bersikeras memegang masalah penafsiran literal atas kitab suci secara langsung ke dalam pemikiran dan tindakan kontemporer. Kaum fundamentalis mengakui wanita sebagai serdadu-serdadu dalam peperangan sosial untuk mencapai keadilan komunal.



Pengertian Jender
Kata "Jender" sampai dengan sekarang masih dalam pengertian yang rancu di kalnagan pengkajinya, Nasaruddin Umar dalam Jurnal Paramadina menyebutkan kata gender yang berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin", Webster's New World Dictionary, mengartikan jender sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Selanjutnya, H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan.
Nasaruddin Umar juga menyebutkan bahwa kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan". Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati, artinya, jika gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.

Jender dalam Pandangan Islam
Dalam peanfsirannya, Nasaruddin Umar membicarakan bagaimana Al-Qur'an memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q., s. al-A'rif/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi mereka" (Q., s. al-Baqarah/2:187).
Jika dilihat dari beberapa ayat diatas, maka Islam sangat memberikan perhatiannya terhadap keadilan antara laki-laki dan perempuan, semua di mata Allah Swt akan sama, kecuali dalam amalnya. Islam juga memberikan contoh dengan cerita Ratu Balqis, Sosok ideal, perempuan muslimah (syakhshiyah al-ma'rah) digambarkan sebagai kaum yang memiliki kemandirian politik/al-istiqlal al-siyasah (Q, s. al-Mumtahanah/60:12), Ratu Balqis juga mempunyai kerajaan "superpower"/'arsyun 'azhim (Q., s. al-Naml/27:23);
Demikian Islam memberikan kebebasan kepada perempuan yang bisa beraktivitas dalam politik, ekonomi dan sosial untuk bergerak di dalamnya, tetapi kemudian Islam memberikan nasihat kepada perempuan untuk tetap memberikan perhatian dan melakukan tindakan konkrit untuk selalu menjaga kehormatan diri, kehormatan suami, pendidikan anak dan menjaga harta keluarga, hal ini harus dilakukan bahkan sesibuk apapun perempuan di luar rumah tangga.

Referensi
Stower, Barbara Freyer, Reinterpretasi Gender (Wanita dalam Alquran, Hadis dan Tafsir), Pustaka Hidayah, Bandung-2001
Umar, Nasaruddin, Persepektif Jender dalam Islam, Jurnal Paramadina